Contoh Laporan Praktek Farmakoterapi : Sistem Pernafasan Dan Pencernaan
RHINITIS ALERGI
-
DEFINISI
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi melibatkan
interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi (Adams dkk., 1997).
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von, 1986).
-
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis).
Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan
masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi.
Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20% (Nguyen, 2009; Cummings,
2005).
Di AS sekitar 20-40% pasien rinitis alergi menderita asma bronkial.
Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi
sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965
sampai tahun 1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38%
pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar
3-5% dari total populasi (Corren, 1998).
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia
dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang
dari 5%. Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari
5%. Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay
(30-35%) dan Hongkong (25-30%) (ARIA, 2008).
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak
10-20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai
10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang
10%. Prevalensi rinitis alergi di Indonesiamencapai 1,5-12,4% dan
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko,
2009).
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50%
penduduk. Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan
aktifitas fisik, maupun sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat.
(Girish et al., 2004).
-
ETIOLOGI
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya.Faktor genetic
sangat berperan pada ekspresi rhinitis alergi (Adams dkk., 1997).
Penyebab rhinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak - anak sering disertai gejala
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien
sensitive terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rhinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur (Becker,1994).
Rhinitis alergi parenial (sepanjang tahun) dapat disebabkan
oleh debu, terdapat dua utama tungau yaituDermato phagoidesfarinae dan Dermato phagoidesptero nyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi,
dan factor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan factor
resiko untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bias berperan dan
memperberat adalah beberapa factor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker,1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas (Kaplan, 2003) :
-
Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah tangga, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
-
Alergen ingestan, yang masuk kesaluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
-
Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
-
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
-
PATOFISIOLOGI
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin, Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid (Irawati,
2008).
-
TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Terapi non-farmakologi yang dilakukan harus memiliki efek langsung
terhadap penyakit pasien. Terapi non-farmakologi yang dapat dianjurkan
kepada pasien penderita alergi yang paling utama yaitu dengan
menghindari alergen, dalam kasus ini alergen berupa spora jamur. Terapi
ini dapat dilakukan yaitu dengan cara pasien berhenti mengikuti
pelatihan budidaya jamur bila dimungkinkan.Selain itu, beberapa hal
yang dapat dianjurkan yaitu :
-
Saat bekerja, sebaiknya menggunakan masker dan sarung tangan, serta menggunkaan alas kaki yang berbeda dengan yang digunakan di rumah, seperti penggunaan sepatu boot.
-
Apabila pasien merasa tidak nyaman dengan penggunaan masker dan sarung tangan, maka sebaiknya saat bekerja menggunakan baju yang berbeda denganbaju yang digunakan dalam keseharian saat di rumah, jadi sepulang bekerja dan sebelum masuk rumah, sebaiknya untuk mengganti baju dahulu, sehingga mencegah adanya spora jamur yang tertempel saat bekerja masuk ke dalam rumah.
-
Jika memang keadaan tidak membaik, bahkan dengan menerapkan terapi, baikfarmakologi maupun non-farmakologi, dianjurkan sebaiknya pasien berganti pekerjaan yang tidak menyebabkan alergi pasien kambuh
Adapun terapi non – faramakologi lain terbagi dua diantaranya;
-
Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan
penyakit, dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan
untuk mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk
mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga
harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang
mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan (Greineret al.,
2011).
-
Menghindari alergen
Menurut studi placebo-controlled oleh O’Meara (2005) dalam Greiner et al., (2011)penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah
akses serbuk sari ke dalam hidung, mengurangi gejala rinitis pada
subjek yang alergi terhadap serbuk sari.
Silahkan Download File Microsoft Word .DOC Untuk Melihat Isi Lengkapnya:
Comments
Post a Comment